Halsel, HN – Pagi itu, medio Juni 2020, di kampung Wayatim, Halmahera Selatan, suara Rukmin menembus dinding dapur beratapkan rumbia. Ia mengajak Nurma, seorang perempuan paruh baya membuat bahan sagu untuk popeda.
Hari itu laut begitu tenang dan tampak perahu nelayan berjajar. Sebelum berangkat, Nurma atau Mama Nur menyiapkan sarapan pagi sambil menunggu suaminya pulang melaut. Usai sarapan, bersama suami dan anak, mereka ke kebun menebang pohon sagu.
Pohon sagu bisa ditebang ketika usianya sekitar 15-20 tahun. Usia itu, diyakini sebagai masa puncak pertumbuhannya. Proses penebangan pohon sagu memakan waktu berkisar 10-15 menit. Area pohon juga perlu dibersihkan.
Setelah pohon ditebang, batangnya dibersihkan kemudian dipotong-potong berukuran setengah depa atau satu meter untuk mempermudah cara mengupas kulit pohon.
Dalu, anak pertama Mama Nur sudah bersiap-siap dengan gerobak untuk mengangkut batangnya. Singkat cerita, keesokannya, Mama Nur dan Rukmin menyiapkan alat pembuatan bahan sagu popeda, seperti mesin parut, bokor, dan penyaring.
Mesin parut adalah alat untuk menghaluskan batang sagu. Batangnya dibelah menjadi bagian-bagian yang lebih kecil lalu diparut. Om Said, suami Mama Nur bertugas menghaluskan untuk menampung sari sagu. Saat sarinya penuh akan dipindahkan ke bokor lain yang sudah disiapkan. Proses pembuatan ini memakan waktu dua hari.
Sagu, Makanan Paling Nikmat bagi Orang Maluku Utara
Di Maluku Utara, sagu adalah bahan pangan untuk popeda maupun sagu lempeng. Banyak produk olahan yang bisa dikembangkan dari bahan sagu seperti sagu lempeng, tepung sagu, krupuk, sinyole, popeda, dan lainnya.
Menurut cerita yang berkembang di masyarakat, sebelum mengenal padi, masyarakat Maluku Utara sehari-hari sangat bergantung pada pohon sagu. Ini makanan yang paling disukai masyarakat di sini.
Cerita mama-mama di Wayatim adalah bukti bahwa bahan sagu benar-benar menopang kebutuhan pangan sehari-hari.
Dalam pembuatan sagu, perempuan memiliki peran yang cukup besar. Mama Nur bercerita, tugas laki-laki itu menebang pohonnya, mengupas batang lalu memindahkan ke lokasi sungai tempat sagu diproses. Di situ, laki-laki memarut dan perempuan melakukan proses meremas hingga selesai.
“Kebanyakan ibu-ibu di sini biasanya olah sagu untuk dijual dan sisanya keperluan untuk kebutuhan makan. Sagu sangat penting bagi kami, meskipun kami juga mengonsumsi nasi agar tidak bosan setiap kali harus makan dengan popeda,” ucap Mama Nur.
Ia mengaku, hampir setiap hari mereka mengonsumsi popeda atau makanan yang diolah dari bahan sagu. Namun, tidak hanya soal pangan, diakuinya sagu adalah identitas orang Maluku Utara yang harus terus dijaga.