
Kita sering mendengar tentang Halmahera, bentangan hutan yang begitu luas dan juga keramahan masyarakat pedesaan yang masih asri. Halmahera bukan hanya persoalan keindahan, namun juga tentang ekosistem bahkan sumber daya alam yang kaya.
Seperti kita tahu, Sumatera Utara, Kalimantan Timur dan Maluku Utara merupakan tiga provinsi yang memiliki karakteristik berbeda, mulai dari hutan alamnya, dari bentang geografis dan juga kondisi masyarakat petaninya.
Perbedaan ketiga provinsi ini yang membuat ketertarikan tersendiri bagi orang-orang yang melihatnya secara langsung. Sebelum lebih jauh kita membahas soal hutan Halmahera, saya ingin kita semua mengetahui bahwa dari beberapa data menurut Forestdigest, dari seluruh provinsi di Indonesia, ketiga provinsi ini memiliki hutan alam yang makin hari makin terkuras.
Saya lebih cenderung pada provinsi Maluku Utara, khusunya di daratan Halmahera, saya ingin mengajak kita semua untuk mengenal lebih jauh apa itu Halmahera, bagaimana kehidupan yang ada di Halmahera dan sumber daya yang ada. Orang-orang Halmahera atau lebih tepatnya masyarakat pedesaan bergantung hidup pada hutan Halmahera. Bahkan bukan hanya manusia/masyarakatnya tetapi banyak sekali ekosistem yang hidup bergantung dengan hutan Halmahera.
Mengapa Alfred Russel Wallace pada tahun 1859 saat itu memilih hidup di belantara hutan Halmahera dan menulis suratnya untuk Charless Darwin “Letter From Ternate”, yang menjadi cikal bakal Darwin menerbitkan bukunya, Origin of spesies, ini bukti bahwa Halmahera adalah jantung dari segala penjuru dunia.
Wallace tertarik dengan Halmahera yang memiliki berbagai jenis aneka ragam hayati di sana dan memilih hidup selama delapan tahun di Ternate, guna melakukan penelitian tentang seleksi alam atau yang kita kenal sekarang dengan teori evolusi.
Yang menjadi persoalan dalam hal ini, kehidupan masyarakat Halmahera sudah tidak seasri berapa tahun kebelakang. Apa yang menyebabkan kehidupan mereka (petani) berpotensi terasing di tanah sendiri? Adakah terbesit di pikiran kita semua bahwa perbedaan corak kehidupan masyarakat petani di Halmahera semakin tergeser?
Ini adalah bukti bahwa permainan para kapitalis atau paham pemodal mengatasnamakan keterwakilan masyarakat yang ingin mengelola sumber daya alam hutan Halmahera, dengan dalil untuk kehidupan yang layak. Kemasifan ini semakin terlihat dan pengaruhnya terhadap kehidupan sosial, budaya dan ekonomi masyarakat makin tergeser. Eksploitasi lahan pertanian milik petani kian merabak. Ini bisa dilihat dengan adanya berbagai macam penggusuran lahan dan eksploitasi hutan Halmahera tanpa batas.
Saya ingin katakan bahwa setiap hak yang berlebihan adalah penindasan, mengapa? Sebab orang-orang pemodal akan abai ketika masyarakat petani dengan lantang menolak penggusuran lahan mereka untuk dijadikan lahan perusahaan tambang misalnya. Ini terbukti dengan beragam eksploitasi yang coba dimainkan oleh mereka.
Persepsi soal perusahaan tambang misalnya, sudah tidak lagi menajdi hal baru bagi masyarakat. Sehingga sebagian besar masyarakat mengangap bahwa ini bisa mencukupi kehidupan mereka, tanpa berpikir dampak negatif dari operasi tambang nantinya. Kehadiran perusahaan tambang menjadi cerita tersendiri di setiap daerah, demikian halnya dengan yang terjadi di Halmahera. Mayoritas masyarakat yang awalnya bergerak di sektor pertanian (petani), dan perikanan (nelayan). Kini mulai beralih menjadi pekerja di sektor pertambangan dan lain-lain.
Teman-teman masih banyak lagi persoalan perampasan ruang hidup di hutan Halmahera, maka jangan diam dan terus melawan segala bentuk kezoliman dengan modal yang kita miliki (pengetahuan). Sebab kata-kata selalu bernyawa dan ia sulit untuk disekap. (*)