Matahari tepat di atas kepala, pekan lalu medio Desember 2020 itu saya dan Halim menggunakan speedboat menuju Pulau Mangoli dari Sanana.
Halim adalah mahasiswa asal Auponhia yang sedang melanjutkan sekolah di STAI Babussalam Sula. Ia juga manjabat ketua di Himpunan Pelajar Mahasiwa Sula Cabang Sula.
ABK menarik jangkar, para penumpang telah bersiap. Mesin dihidupkan. Saya memilih duduk di atas kabin, bersama beberapa orang tua. Perjalanan kami dimulai. Belum sampai pada rute tujuan, tumpukan awan hitam menutupi bola matahari, beselang waktu gerimis pun jatuh.
Kami buru-buru untuk bergegas masuk ke dalam, sebelum hujan akan semakin deras.
Di ruang speedboat itu tampak para penumpang sedang tertidur. Saya lalu mengambil posisi dengan duduk paling belakang (dekat mesin). Setengah perjalanan kami, hujan belum lagi redah, sampai kami tiba di lokasi tujuan.
Saat perjalanan, hingga memasuki di antara Desa Buya dan Desa Auponhia, mata saya tak sengaja memandang sebuah kapal yang hampir penuh dengan muatan kayu. Sontak saya menyalakan gawai kemudian membidik kapal itu.
Halim memanggil saya, dan menyuruh agar memandang ke pesisir pantai. Begitu kagetnya, saya melihat sebuah mobil berukuran besar tengah mengangkut batang-batang pohon.
Sampailah kami di Desa Auponhia, Kecamatan Mangoli Selatan, pada pukul 16. 27 WIT. Waktu tempuh sekitar 4 jam lebih. Kami lalu turun di rumah saudaranya Halim dan harus istirahat dulu karena besok berencana kembali melihat aktivitas kapal tadi.
***
Suara mesin pun terdengar di atas laut. Orang yang mengemudi perahu itu berteriak ke arah Halim agar segera menuju ke sudut kampung. Rumah yang kami tempati itu memang hanya berjarak sekitar 13 meter dari bibir pantai.
Kami berjalan ke arah sudut kampung untuk naik perahu kecil. Ada sekitar enam orang. Awak perahu, kemudian menghidupkan mesin, lalu membawa kami ke tempat kapal yang kemarin sempat terlihat mengangkut kayu.
Perahu kami berjarak sekiranya sekitar dua meter dari kapal tersebut, mata saya kemudian tertuju pada ribuan kayu log yang telah tersusun rapi.
Ada juga kayu jenis Meranti (putih dan merah), kayu Motoa, dan Pulapy. Informasi yang saya terima dari Halim, kapal tersebut akan mengangkut kayu sebanyak lima ribu batang dengan tujuan Surabaya atau Kota Gresik.
Kayu-kayu tersebut menurut keterangan dari paman Halim milik sebuah perusahaan. Karena semakin dibuat penasaran, saya bilang ke Halim agar membawa kami ke pesisir.
Belum sempat kaki menginjak pasir di bibir pantai itu, sebuah alat berat terlihat tengah mengangkut serta mendorong kayu yang digeser hingga ke laut.
Tentu semakin penasaran, saya berjalan di atas tumpukan kayu bulat, sambil lihat kiri dan kanan. Ada pula sebuah truk yang sedang naik-turun mengikuti jalan tanah itu.
Saya mengajak Halim agar menyampaikan ke supirnya untuk kami ikut. Sontak supirnya mengiyakan lalu dengan capat kami meloncat ke bak truk.
Kami dibawa ke sebuah camp. Hanya saja, sekitar pukul 14.00 waktu setempat, saya meminta agar segera kembali ke titik semula. Selama perjalanan pulang dengan jalan kaki sepanjang 6 kilometer itu, kami melihat banyak sekali aktivitas alat-alat berat, menebang hutan. Kami kembali ke desa kala matahari sudah ditelan bumi. (*)