Ternate, HN – Akademisi memiliki peran penting bagi pembangunan daerah. Pikiran dan kontribusi mereka terhadap suatu persoalan di daerah sangat dibutuhkan. Kendati begitu, ada juga sejumlah fakta oknum akademisi tertentu memanfaatkan keilmuannya yang membuat berdampak terhadap lingkungan.
“Saya tantang mereka (kampus) buka data terkait dengan keterlibatan akademisi dalam penyusunan Amdal,” ungkap Praktisi Hukum Herdra kasim, saat menjadi pembicara dalam diskusi akhir tahun bertajuk Eksploitasi Sumber Daya Alam dan Hak Asasi Manusia, pada Selasa, 24 Desember 2019, di kedai Jalamalut Media Grup (JMG), di Komplek BTN, Ternate Tengah, Maluku Utara.
Diskusi ini diselenggarakan oleh Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Maluku Utara dan mongabay Indonesia. Mahmud Ici, selaku wartawan Mongabay turut hadir sebagai pembicara.
Menurut Hendra, semua pihak harus mengawal dampak yang ditimbulkan oleh aktivitas perusahaan. “Semua harus diilibatkan apakah akademisi, peneliti, mahasiswa, harus punya data dan punya peran,” ujar Hendra.
Hendra bilang, pemerintah daerah, seharusnya tidak bergantung secara penuh pada sektor pertambangan. Ada banyak potensi yang menurutnya bisa dikelola untuk kesejahteraan masyarakat.
“Masyarakat kita sudah banyak memiliki kreativitas (di) desa yang bisa menjadi sumber pendapatan daerah,” ujar Hendra.
Masyarakat harus bisa mendapatkan sumber-sumber ekonomi lain dan tidak selalu berharap pada perusahaan. Karena, apabila ke depan perusahaan berhenti beroperasi, maka masyarakat tempatan akan kesulitan mencari pekerjaan.
“Sehingga kalau masyarakat yang memiliki ekonomi mandiri, kuat dan tangguh, pemodal (perusahaan) susah untuk memengaruhi masyarakat,” jelasnya.
Sementara itu, Mahmud Ici menceritakan, ia pernah mendapat somasi dari salah satu perusahaan di Halmahera Timur atas berita yang dibuatnya. Namun, setelah disampaikan fakta-fakta, perusahaan tersebut tidak lagi menghubungi pihaknya. “Peran media di sini sangat penting untuk isu-isu sumberdaya alam,” kata Abang Mici, sapaan akrab Mahmud ici.
Ia menuturkan, selama melakukan liputan di pulau-pulau, ia melihat banyak sekali kesenjangan. Ia mencotohkan yang terjadi di Pulau Gebe, Halmahera Tengah. PT Antam pernah beroperasi di sana selama puluhan tahun. Dampaknya, saat ini sebagian besar Pulau Gebe terlihat tandus.
“Jadi kita memang tidak boleh sendiri-sendiri. Aktivis gerakan, teman-teman di media, harus menjalankan fungsinya secara bersama. Saya mungkin meminta aktivis yang lain untuk menyuarakan itu dan sejauh ini saya tidak pernah takut untuk menulis isu sumberdaya alam,” papar jurnalis Mongabay ini.
Direktrur Informasi dan Komunikasi (Infokom) AMAN Maluku Utara, Supriyadi Sudirman, dalam kesempatan itu mengatakan, eksploitasi sumberdaya alam di sektor pertambangan saat ini sangat memprihatinkan.
“Luas daratan kita yang kurang lebih 3,1 juta hektare itu menampung 313 Izin Usaha Pertambangan (IUP), yang menyebabkan kerusakan lingkungan yang masif,” ucapnya.
Maluku Utara, kata Supriyadi, merupakan daerah pulau. Seharusnya bukan sektor pertambangan yang menjadi prioritas, melainkan pertanian dan perikanan. “Kita ini pulau-pulau. Semakin banyak aktivitas tambang, maka dampak yang dirasakan oleh masyarakat pulau semakin parah. Bukan soal hari ini saja, tapi dampak ini akan turut dirasakan di masa yang akan datang,” katanya.
Ia berharap, akademisi atau pihak kampus secara tegas menaruh perhatian terhadap maraknya pertambangan di Maluku Utara. Menurut dia, hasil riset para akademisi sebenarnya bisa mengecilkan tingkat kerusakan lingkungan.
“Kita berharap pihak kampus harus bicara, tidak bisa hanya masyarakat sipil saja. Karena ini otoritas pengetahuan. Jika akademisi saja diam tentang kerusakan lingkungan, ini sudah patutnya kita menaruh curiga kepada mereka,” jelasnya.
Diskusi ini dihadiri sejumlah aktivis hingga pekerja media. Mereka turut memberikan pandangan dan saran-saran. Diskusi yang dipandu Astuti N Kilwouw ini berlangsung sekitar empat jam lebih.
___
Berita ini sudah terbit di jalamalut.com, pada 25 Desember 2019.