
17 Agustus 2020 kemarin merupakan satu momentum besar Indonesia. Sebab kita semua berlomba-lomba dalam memperingatinya. Patut kiranya kita semua belajar dari sejarah agar semua hal bisa kita jadikan instrumen dalam memperjuangkan hak-hak rakyat secara umum.
Bagi saya, kata merdeka sangat suci ketika diucapkan, namun bagaimana kata itu direalisasi dalam masyarakat umum; kaum miskin kota, buruh, dan bahkan perempuan-perempuan korban kekerasan seksual? Lantas kata merdeka patut kita acungkan jempol ketika masih banyak masalah yang ada, baik itu masalah manusia dengan manusia atau manusia dengan alam.

Saya pribadi ingin katakan merdeka itu apabila kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan bisa tercapai. Dan juga kebebasan setiap individu menyampaikan segala keluhan di mata publik tanpa ada keterbatasan dan ancaman. Bicara soal kemerdekaan tidak terlepas dari tanggung jawab kita sebagai manusia dalam menjaga sesama manusia dan alam.
Kesadaran ekologi pertama kali muncul dalam catatan manusia setidaknya 5.000 tahun yang lalu. Para pemuka agama Veda (atau Weda) memuji hutan liar dalam nyanyian mereka. Para pengikut Tao mendesak agar kehidupan manusia mencerminkan pola alam. Para antropolog telah menemukan bukti punahnya hewan dan tumbuhan karena perbuatan manusia sejak 5.000 SM, sekitar 200.000 Homo sapiens hidup di bumi.
Mengapa saya katakan menjaga ekuilibrium antara manusia dengan alam sangatlah penting? Sebab manusia dan alam hidup dalam keharmonisan dan kedamaian, kebutuhan satu sama lain terpenuhi secara seimbang jika adanya keseimbangan ekologis. Manusia dan alam dapat menjalani kehidupannya dengan baik.
Namun, jika ada kerusakan keseimbangan ekologi maka akan berdampak pada makhluk hidup seperti punahnya populasi hewan atau tumbuhan. Bahkan ancaman bagi manusia itu sendiri. Banyak sekali kasus atau masalah yang kita temukan baru-baru ini, misalnya ada beberapa limbah tambang yang disalurkan ke permukaan air laut bahkan ada sungai yang tercemar limbah tambang. Penggusuran lahan memang semakin merajalela.
Ini sangat mempengaruhi kehidupan ekosistem hewan bahkan tumbuhan, belum lagi masalah reklamasi pantai yang baru-baru ini dilakukan di area Sangaji dan Kalumata, Kota Ternate. Ini menuai pro dan kontra sehingga beberapa kali masyarakat dan mahasiswa melakukan aksi penolakan reklamasi pantai.
Sebab dalam kajiannya, reklamasi pantai banyak membawa dampak buruk terhadap masyarakat setempat. Dan juga mengancam ekosistem laut seperti mangrove, padang lamun, terumbu karang dan juga ikan-ikan yang hidup di sekitaran pesisir pantai. Bukan hanya itu, dampak reklamasi juga akan menimbulkan masalah ekonomi dan sosial masyarakat setempat.
Ini bisa kita lihat dan temukan di area pusat pebelanjaan modern yang berdiri di atas kawasan reklamasi pantai. Meski tampak berdiri gagah, tapi bangunan modern itu tidak menjanjikan kesejahteraan bagi masyarakat setempat. Semakin hari, persaingan ekonomi antara mereka yang memiliki saham besar dengan orang-orang yang memiliki ekonomi kelas bawah terus mengemuka.
Olehnya itu, kita perlu sama-sama menjaga lingkungan sekitar, menjaga alam layaknya kita menjaga ibu pertiwi. Jangan pernah bosan dalam mengampanyekan soal lingkungan. Selain itu juga, saya mengajak agar segala bentuk apapun itu yang dapat merugikan manusia dan alam maka kata “lawan” terus kita kibarkan; stop reklamasi, stop penggusuran lahan.
___
Penulis: Nursin Gusao (Kamerad Gamhas Maluku Utara)
Tulisan ini sudah pernah terbit di jalamalut.com, pada 28 Agustus 2020.